SOLO–Sebagian besar masyarakat masih memandang remeh limbah tempurung
atau batok kelapa. Para pedagang kerambil di pasar tradisional sering
memanfaatkan limbar itu untuk sekadar bahan bakar memasak.
Namun, batok kelapa di mata Sarwidiyanto, 35, warga asal Laban Wetan
RT 001/RW 001, Desa Laban, Kecamatan Mojolaban, Sukoharjo, memiliki
nilai ekonomis. Barang sepele itu pun disulap arsitek jebolan
Universitas Tunas Pembangunan (UTP) Solo 2001 itu menjadi produk kreatif
dengan nilai jual tinggi.
Ide kreatif bapak dari dua anak ini pun tak datang sekonyong-konyong.
Sejak mendapat gelar sarjana teknik, pria kelahiran 1 Desember 1978 ini
sempat nganggur hampir dua tahun. Ia tak putus asa.
Dengan relasi dan usaha semampunya, ia dipercaya menjadi seorang
mandor bangunan di Kota Salatiga. Ia mendesain bangunan dan sekaligus
mengurusi proses pembangunan rumah pribadi warga Kota Hati Beriman itu.
Setidaknya dua unit rumah bertingkat dirampungkan Sarwidiyanto dalam
tempo setahun.
Ia terus berpikir mencari terobosan baru untuk meningkatkan
perekonomian keluarga. Pekerjaan di dunia arsitektur ternyata tak
selamanya ada. Ia pun sempat membuat desain wayang kulit dan dikirimkan
kepada temannya untuk bahan sablon kaus.
Pekerjaan baru itu pun dilakoninya hampir satu tahun. Dialektika
pemikirannya terus berkembang saat berbincang-bincang dengan teman-teman
pengrajin kreatif. Ia termotivasi untuk ikut berkreasi hingga akhirnya
menemukan ide kreatif untuk memanfaat batok kelapa.
“Potensi batok kelapa di Laban Wetan ini cukup banyak. Ada empat
orang pedagang kerambil di dukuh ini. Saya berpikir, kerajinan apa yang
belum dibuat dengan bahan baku batok ini. Setelah sekian lama berpikir
akhirnya bisa menemukan ide, yakni lampu hias,” ujar Sarwidiyanto saat
dihubungi Solopos.com di sela-sela pameran kerajian Inacraft di Senayan, Jakarta, Rabu (24/4/2013) siang.
Produk kreatifnya diberi nama Senthir Sumunar, sebuah nama yang kaya
makna. Kata “senthir” merupakan padanan kata dari teplok, yakni lampu
tempel yg bersumbu dan menggunakan bahan bakar minyak tanah yang biasa
dimiliki wong cilik. Sedangkan kata “sumunar” berarti bercahaya. Ia
berharap pemberi nama itu bisa memberi pencerahan dan penerangan bagi
wong cilik, terutama dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga.
Merintis usaha itu tidaklah mudah. Cemooh dari tetangga pun pernah
diterimanya. Bahkan saat proses pembuatan lampu hias juga pernah gagal.
Tapai di sisi lain, ada sebagian masyarakat terheran dengan hasil karya
Sarwidiyanto ini, batok kelapa ternyata bisa dibikin lampu hias unik.
“Calon konsumen ada yang heran. Batok kok bisa dibikin kayak begini. Tapi tetangga yang belum tahu malah bilang gawe kaya ngono kuwi apa ya payu? [buat barang seperti itu apa ya laku?] Setelah ada barang yang laku, mereka baru percaya,” kisahnya.