Minggu, 17 Februari 2013

Gudeg Solo, Basah & Gurihnya Sampai ke Hati

SOLO–Gudeg sering dikenal sebagai masakan Jawa, tepatnya khas Jogja. Di Solo orang juga mengenal gudeg yang bentuknya hampir mirip dengan gudeg asal Jogja itu. Namun orang Solo tetap menyebut gudeg ini sebagai gudeg asli Solo dan sudah berbeda.
Klaim itu memang ada buktinya. Sama-sama bernama
gudeg dan penampilan fisiknya sangat mirip, gudeg Solo sangat berbeda dalam hal rasa. Para pecinta gudeg Jogja biasanya bisa merasakan gudeg yang berasa manis di warung-warung Jogja. Sedangkan di Solo, gudeg tampil dengan rasa yang tidak terlalu manis dan cenderung lebih gurih.
“Gudeg Solo memang beda dari Jogja. Masakan Jogja biasanya kan lebih manis, tapi di sini gudeg lebih gurih,” kata salah satu juru masak di Warung Gudeg Bu Mari, Jl Gatot Subroto, Solo, Maksun, Kamis (10/1/2013).
Soal manis atau gurih memang tergantung selera masing-masing orang. Karena itu gudeg Solo memiliki penggemar tersendiri seperti halnya penggemar gudeg Jogja. Sebagai salah satu varian, gudeg Solo pun bisa lebih bervariasi dengan ciri khas di tangan masing-masing pembuatnya.
Misalnya Gudeg Bu Mari yang menampilkan gudeg dengan ciri khas pedas. Rasa pedas itu bukan dari gudeg, melainkan dari kuah sambal goreng yang dibuat sangat pedas. Ciri pedas ini jelas sangat berbeda dengan selera banyak orang Jogja-Solo yang menyukai masakan serba manis. Meski demikian gudeg ini sangat populer di kalangan penggemar gudeg baik di Solo maupun luar kota. Buktinya, warung yang terletak di tengah kota ini selalu kedatangan pengunjung selama 24 jam.
“Sambal gorengnya harus sudah pedas. Karena pedas, biasanya yang senang adalah orang Jawa Timuran. Yang datang ke sini banyak mobil dengan plat nomor dari timur,” ujar Maksun.
Rasa pedas sudah dijamin ada pada tiap porsi gudeg di warung ini. Jika pelanggan merasa kurang pedas, pengelola warung sudah menyediakan cabai mentah yang bisa diambil sesuai kebutuhan. Bahkan Maksum berani menjamin warung ini tak akan mengurangi kadar pedas meskipun harga cabai sedang tinggi-tingginya.
Di Solo, ini adalah salah satu warung gudeg populer yang telah eksis selama puluhan tahun. Bu Mari, pendirinya, telah mendirikan warung gudeg 40 tahun silam. Kini meskipun tanpa banyak publikasi, gudeg ini telah masuk dalam katalog wisata kuliner yang dikeluarkan Pemkot Solo sampai saat ini.
Lain warung lain pula variasi gudegnya. Salah satu warung gudeg tertua di Solo, yaitu Warung Gudeg Bu Kasno Margoyudan, membuat gudeg yang berbeda dengan gudeg-gudeg manapun. Di sini, gudeg tidak hanya dibuat dari nangka muda, melainkan ditambah dengan daun singkong. Daun singkong ini bisa terlihat jelas di dalam gudeg.
“Kalau gudeg saja sebenarnya kan tidak ada vitaminnya. Karena itu biar ada gizinya, kami tambah daun singkong yang ada vitamin dan zat besinya,” kata Etty Widodo, menantu Bu Kasno yang kini mengelola salah satu cabang di kawasan Ngarsapura, Kamis (10/1) malam.
Sekilas hanya itulah perbedaan yang tampak dari gudeg ini dibandingkan gudeg-gudeg lainnya. Namun jauh sebelum disajikan, gudeg ini diolah dengan cara yang berbeda. Misalnya proses pemasakan mulai dari nangka muda, areh, sambal goreng dan telur rebus semuanya dilakukan di atas tungku tradisional.
Tungku ini hanya menggunakan kayu bakar tanpa bahan bakar lain. “Ini bedanya dengan gudeg yang dibuat di atas kompor gas. Bahkan lengo pet [minyak tanah] pun tidak kami pakai,” lanjut Etty.
Menurut Etty, penggunaan kayu ini bisa sangat berpengaruh terhadap rasa gudeg yang dihasilkan. Apalagi gudeg dan pelengkapnya ini dimasak dengan kuali atau bejana tanah besar dan diyakini semakin memperkuat rasa gurih yang dihasilkan.

Secara umum sebenarnya ada dua jenis gudeg yang dikenal, yaitu gudeg kering dan gudeg basah. Di Jogja gudeg disajikan dalam bentuk kering. Sementara di Solo gudegnya tampil basah dengan kuah. Di Solo, gudeg yang kering ini biasanya dibasahi dengan menggunakan areh yang terbuat dari santan kental.

“Di sini areh itu juga dibuat dari kelapa yang diparut secara tradisional.”
Jika diparut secara tradisional, santan yang dihasilkan bisa lebih pekat dari pada kelapa yang digiling dengan mesin. “Ya kami sendiri yang memarut kelapanya meskipun butuh waktu lama.”
sumber :http://www.solopos.com